JOM BOOKCAFE

Isnin, 18 Ogos 2014

HUKUM PRASANGKA DAN FIKIHNYA..!

Buruk sangka, suatu sikap tercela yang sangat merosak dan hampir-hampir tidak ada orang yang selamat darinya. Hal ini kerana syaitan senantiasa berusaha menumbuhkan benih-benih perpecahan di antara manusia, terutama sesama kaum muslimin. Sampai-sampai keluarga Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – pun pernah mendapatkan dampak buruk dari persangkaan buruk yang tersebar di tengah-tengah kaum muslimin.
 
Ketika Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – pulang bersama rombongannya dari peperangan Bani Mushthaliq, ketika singgah di suatu tempat, Aisyah – radhiyallahu ‘anha – kehilangan kalungnya ketika buang hajat, sehingga dia pun mencarinya dan akhirnya tertinggal oleh rombongan. Lalu Aisyah – radhiyallahu ‘anha – pun memutuskan untuk diam dan menunggu kalau-kalau rombongan itu sedar dan kembali untuk mencari Aisyah – radhiyallahu ‘anha -. Namun ternyata masih ada seorang sahabat, Shafwan bin Mu’aththal – radhiyallahu ‘anhu – yang memang berada paling akhir dari rombongan, dan dia pun melihat Aisyah – radhiyallahu ‘anha -. Akhirnya, Aisyah – radhiyallahu ‘anha – naik kendaraan milik Shafwan – radhiyallahu ‘anhu – tanpa berbicara sedikit pun, sedangkan Shafwan berjalan kaki sehingga keduanya sampai di Madinah dan dilihat oleh banyak orang.
Ketika itulah orang-orang – terutama orang-orang munafik – mulai berprasangka buruk terhadap keduanya sehingga tersebar berita yang tidak benar tentang Aisyah – radhiyallahu ‘anha -. Berita itu pun sampai pada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan menjadikan gempar keluarga Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan Abu Bakr – radhiyallahu ‘anhu -. Sampai akhirnya Allah menurunkan wahyu-Nya akan kesucian Aisyah – radhiyallahu ‘anha -, dan kedustaan berita yang telah tersebar tentangnya.
Dan dapat kita bayangkan ketika kita membaca kisah ini secara lengkap, bagaimana kesedihan dan kesusahan keluarga Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan Abu Bakr – radhiyallahu ‘anhu -, terutama Aisyah – radhiyallahu ‘anha – akibat dari persangkaan yang buruk ini.
Oleh karena itulah, Allah S.W.T memperingatkan dengan tegas agar  kaum mukminin menjauhi banyak dari persangkaan. Allah l berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari persangkaan, karena sebagian dari persangkaan itu adalah dosa.” (al-Hujurat: 12)
Dan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – juga bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ
“Jauhilah oleh kalian persangkaan, karena persangkaan itu adalah ucapan yang paling dusta.” (Muttafaq ‘alaih)

Ayat dan hadits di atas merupakan salah satu landasan penting dalam sikap seorang muslim terhadap saudaranya. Dan dari nash inilah – dan juga dari nash-nash lainnya – para ulama telah memberikan penjelasan tentang hukum persangkaan. Berikut ini beberapa hal terkait hukum persangkaan sebagaimana telah disampaikan oleh para ulama.

Pentingnya masalah ini.
Dua nash tersebut di atas menunjukkan betapa pentingnya permasalahan ini. Dalam ayat, sebelum Allah menyampaikan larangan-Nya, Allah mendahuluinya dengan seruan kepada orang-orang yang beriman. Dan ini jelas menunjukkan pentingnya permasalahan ini. Telah diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud – radhiyallahu ‘anhu – beliau berkata, “Jika engkau mendengar Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman” maka pasanglah telingamu, kerana mungkin (yang akan disampaikan adalah) kebaikan yang Dia perintahkan atau keburukan yang Dia larang.”

Tidak semua persangkaan terlarang.
Ini ditunjukkan oleh firman Allah, “karena sebagian dari persangkaan itu adalah dosa.” Artinya, tidak semua persangkaan itu adalah dosa, dan tidak semua persangkaan itu terlarang. Karena persangkaan itu terbagi menjadi dua:
1- Persangkaan baik terhadap seorang muslim. Maka ini adalah sesuatu yang dituntut dari seorang muslim terhadap saudaranya yang secara lahiriah adalah orang yang baik.
2- Persangkaan buruk. Inilah yang terlarang jika persangkaan ini ditujukan kepada seorang muslim yang secara lahiriah adalah orang yang baik. Para ulama telah menyatakan, “Tidak halal berburuk sangka terhadap seorang muslim yang secara lahiriah adalah orang yang baik.”

Prasangka buruk TIDAK MUTLAK terlarang.
Jika persangkaan buruk kepada seorang muslim yang secara lahiriahnya baik adalah terlarang, lalu bagaimana jika ada seseorang yang memang ada tanda-tanda atau indikasi keburukan? Bolehkah berprasangka buruk kepadanya?
Jawabnya, tidak mengapa berprasangka buruk kepada orang yang memiliki indikasi atau tanda-tanda adanya keburukan pada dirinya. Oleh kerana itu ada pepatah arab yang ertinya, “jagalah diri kalian dari manusia dengan buruk sangka.” Akan tetapi tentu saja kebolehan buruk sangka ini bukan sesuatu yang mutlak. Artinya, hanya boleh ditujukan kepada orang-orang yang ada indikasi keburukan padanya. Misalnya, seorang yang memiliki indikasi atau tanda-tanda akan merampak, mencuri atau berbuat jahat, maka boleh saja kita menaruh curiga dan berburuk sangka kepadanya dalam rangka untuk berwaspada terhadap orang tersebut.
Az-Zujjaj – rahimahullah – berkata menjelaskan tentang buruk sangka yang terlarang, “Yaitu berprasangka buruk kepada orang yang baik. Adapun orang-orang yang buruk dan jahat, maka kita boleh berprasangka terhadap mereka sebagaimana yang nampak dari mereka.”
Dan Imam al-Qurthubi – rahimahullah – telah menghikayatkan perkataan dari majoriti ulama bahwa persangkaan yang buruk terhadap orang yang lahiriahnya baik tidak dibolehkan, namun tidak mengapa bersangka buruk terhadap orang yang lahiriahnya buruk.

Persangkaan yang dosa.
Kemudian, perlu kita pahami di sini, bahwa persangkaan buruk yang dimaksud, yakni yang dapat mendatangkan dosa adalah persangkaan yang menetap dalam hati dan diucapkan oleh lisan. Adapun persangkaan yang hanya berupa lintasan yang terbetik dalam hati saja, dan tidak menetap dalam hati apalagi terucap oleh lisan, maka persangkaan ini bukanlah persangkaan yang mendatangkan dosa.
Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda,
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku dari apa yang dibicarakan oleh hatinya, selama dia tidak melakukan atau mengucapkannya (dengan lisan).” (Muttafaq ‘alaih)

Al-Khathabi – rahimahullah – berkata tentang persangkaan yang terlarang, “Yaitu persangkaan yang diwujudkan dan dibenarkan, bukan semata yang terlintas dalam hati karena yang ini tidak dikuasai.”
Al-Qadhi menukil dari Sufyan bahwa dia berkata, “Persangkaan yang dosa adalah persangkaan yang diucapkan. Jika tidak diucapkan maka tidak berdosa.”
Muqatil bin Sulaiman dan Muqatil bin Hayyan juga berkata, “Yaitu berprasangka buruk kepada saudara muslimnya, dan itu tidak mengapa selama tidak diucapkan, namun bila diucapkan dan dinampakkan maka dia berdosa.”

Selasa, 5 Ogos 2014

WASPADALAH TERHADAP PERANGKAP RIYA..!


Oleh : Syaikh Husain bin Audah Al-Awayisyah

IKHLAS UNTUK ALLAH TA’ALA [1]

Apa Syarat Diterimanya Amal?
Sebelum anda melangkah satu langkah –wahai saudaraku muslim- hendaklah anda mengetahui jalan untuk mendapatkan keselamatanmu. Janganlah anda memberati diri dengan amalan-amalan yang banyak,. Karena, alangkah banyak orang yang memperbanyak amalan, namun hal itu tidak memberikan manfaat kepadanya kecuali rasa penat dan keletihan semata di dunia dan siksaan di akhirat. [2]

Maka, sebelum memulai semua amalan, hendaklah anda mengetahui syarat diterimanya amal. Yaitu harus terpenuhi dua perkara penting pada setiap amalan. Jika salah satu tidak tercapai, akibatnya amalan seseorang tidak ada harapan untuk diterima. Pertama : Ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kedua : Amalan itu telah diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an, atau dijelaskan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnahnya, dan mengikuti Rasulullah dalam pelaksanaannya.