Ketika Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – pulang bersama
rombongannya dari peperangan Bani Mushthaliq, ketika singgah di suatu
tempat, Aisyah – radhiyallahu ‘anha – kehilangan kalungnya ketika buang
hajat, sehingga dia pun mencarinya dan akhirnya tertinggal oleh
rombongan. Lalu Aisyah – radhiyallahu ‘anha – pun memutuskan untuk diam
dan menunggu kalau-kalau rombongan itu sedar dan kembali untuk mencari
Aisyah – radhiyallahu ‘anha -. Namun ternyata masih ada seorang sahabat,
Shafwan bin Mu’aththal – radhiyallahu ‘anhu – yang memang berada paling
akhir dari rombongan, dan dia pun melihat Aisyah – radhiyallahu ‘anha
-. Akhirnya, Aisyah – radhiyallahu ‘anha – naik kendaraan milik Shafwan –
radhiyallahu ‘anhu – tanpa berbicara sedikit pun, sedangkan Shafwan
berjalan kaki sehingga keduanya sampai di Madinah dan dilihat oleh
banyak orang.
Ketika itulah orang-orang – terutama orang-orang munafik – mulai
berprasangka buruk terhadap keduanya sehingga tersebar berita yang tidak
benar tentang Aisyah – radhiyallahu ‘anha -. Berita itu pun sampai pada
Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan menjadikan gempar
keluarga Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan Abu Bakr –
radhiyallahu ‘anhu -. Sampai akhirnya Allah menurunkan wahyu-Nya akan
kesucian Aisyah – radhiyallahu ‘anha -, dan kedustaan berita yang telah
tersebar tentangnya.
Dan dapat kita bayangkan ketika kita membaca kisah ini secara lengkap,
bagaimana kesedihan dan kesusahan keluarga Rasulullah – shallallahu
‘alaihi wa sallam – dan Abu Bakr – radhiyallahu ‘anhu -, terutama Aisyah
– radhiyallahu ‘anha – akibat dari persangkaan yang buruk ini.
Oleh karena itulah, Allah S.W.T memperingatkan dengan tegas agar kaum mukminin menjauhi banyak dari persangkaan. Allah l berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari persangkaan,
karena sebagian dari persangkaan itu adalah dosa.” (al-Hujurat: 12)
Dan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – juga bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ
“Jauhilah oleh kalian persangkaan, karena persangkaan itu adalah ucapan yang paling dusta.” (Muttafaq ‘alaih)
Ayat dan hadits di atas merupakan salah satu landasan penting dalam
sikap seorang muslim terhadap saudaranya. Dan dari nash inilah – dan
juga dari nash-nash lainnya – para ulama telah memberikan penjelasan
tentang hukum persangkaan. Berikut ini beberapa hal terkait hukum
persangkaan sebagaimana telah disampaikan oleh para ulama.
Pentingnya masalah ini.
Dua nash tersebut di atas menunjukkan betapa pentingnya permasalahan
ini. Dalam ayat, sebelum Allah menyampaikan larangan-Nya, Allah
mendahuluinya dengan seruan kepada orang-orang yang beriman. Dan ini
jelas menunjukkan pentingnya permasalahan ini. Telah diriwayatkan dari
Ibnu Mas’ud – radhiyallahu ‘anhu – beliau berkata, “Jika engkau
mendengar Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman” maka pasanglah
telingamu, kerana mungkin (yang akan disampaikan adalah) kebaikan yang
Dia perintahkan atau keburukan yang Dia larang.”
Tidak semua persangkaan terlarang.
Ini ditunjukkan oleh firman Allah, “karena sebagian dari persangkaan
itu adalah dosa.” Artinya, tidak semua persangkaan itu adalah dosa, dan
tidak semua persangkaan itu terlarang. Karena persangkaan itu terbagi
menjadi dua:
1- Persangkaan baik terhadap seorang muslim. Maka ini adalah sesuatu
yang dituntut dari seorang muslim terhadap saudaranya yang secara
lahiriah adalah orang yang baik.
2- Persangkaan buruk. Inilah yang terlarang jika persangkaan ini
ditujukan kepada seorang muslim yang secara lahiriah adalah orang yang
baik. Para ulama telah menyatakan, “Tidak halal berburuk sangka terhadap
seorang muslim yang secara lahiriah adalah orang yang baik.”
Prasangka buruk TIDAK MUTLAK terlarang.
Jika persangkaan buruk kepada seorang muslim yang secara lahiriahnya
baik adalah terlarang, lalu bagaimana jika ada seseorang yang memang ada
tanda-tanda atau indikasi keburukan? Bolehkah berprasangka buruk
kepadanya?
Jawabnya, tidak mengapa berprasangka buruk kepada orang yang memiliki
indikasi atau tanda-tanda adanya keburukan pada dirinya. Oleh kerana
itu ada pepatah arab yang ertinya, “jagalah diri kalian dari manusia
dengan buruk sangka.” Akan tetapi tentu saja kebolehan buruk sangka ini
bukan sesuatu yang mutlak. Artinya, hanya boleh ditujukan kepada
orang-orang yang ada indikasi keburukan padanya. Misalnya, seorang yang
memiliki indikasi atau tanda-tanda akan merampak, mencuri atau berbuat
jahat, maka boleh saja kita menaruh curiga dan berburuk sangka kepadanya
dalam rangka untuk berwaspada terhadap orang tersebut.
Az-Zujjaj – rahimahullah – berkata menjelaskan tentang buruk sangka
yang terlarang, “Yaitu berprasangka buruk kepada orang yang baik. Adapun
orang-orang yang buruk dan jahat, maka kita boleh berprasangka terhadap
mereka sebagaimana yang nampak dari mereka.”
Dan Imam al-Qurthubi – rahimahullah – telah menghikayatkan perkataan
dari majoriti ulama bahwa persangkaan yang buruk terhadap orang yang
lahiriahnya baik tidak dibolehkan, namun tidak mengapa bersangka buruk
terhadap orang yang lahiriahnya buruk.
Persangkaan yang dosa.
Kemudian, perlu kita pahami di sini, bahwa persangkaan buruk yang
dimaksud, yakni yang dapat mendatangkan dosa adalah persangkaan yang
menetap dalam hati dan diucapkan oleh lisan. Adapun persangkaan yang
hanya berupa lintasan yang terbetik dalam hati saja, dan tidak menetap
dalam hati apalagi terucap oleh lisan, maka persangkaan ini bukanlah
persangkaan yang mendatangkan dosa.
Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda,
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku dari apa yang dibicarakan oleh
hatinya, selama dia tidak melakukan atau mengucapkannya (dengan lisan).”
(Muttafaq ‘alaih)
Al-Khathabi – rahimahullah – berkata tentang persangkaan yang
terlarang, “Yaitu persangkaan yang diwujudkan dan dibenarkan, bukan
semata yang terlintas dalam hati karena yang ini tidak dikuasai.”
Al-Qadhi menukil dari Sufyan bahwa dia berkata, “Persangkaan yang
dosa adalah persangkaan yang diucapkan. Jika tidak diucapkan maka tidak
berdosa.”
Muqatil bin Sulaiman dan Muqatil bin Hayyan juga berkata, “Yaitu
berprasangka buruk kepada saudara muslimnya, dan itu tidak mengapa
selama tidak diucapkan, namun bila diucapkan dan dinampakkan maka dia
berdosa.”
Selalu berusaha husnuzhan.
Termasuk adab dan sikap yang mestinya kita perhatikan dalam
berhubungan dengan sesama muslim, hendaknya kita berusaha selalu
mengedepankan prasangka baik kita kepada saudara muslim kita. Dan
janganlah kita mudah berprasangka buruk kepada saudara muslim kita.
Umar bin al-Khaththab – radhiyallahu ‘anhu – berkata, “Janganlah kamu
berprasangka terhadap ucapan yang keluar dari saudara muslimmu kecuali
kebaikan sedangkan kamu mendapati kemungkinan yang baik dari ucapan
itu.”
Dan sebagian salaf (seperti Muhammad bin Sirin, Ja’far bin Muhammad,
dan Abu Qilabah) berkata, “Jika sampai kepadamu berita yang tidak kamu
sukai tentang saudaramu, maka carilah udzur untuknya. Jika kamu tidak
mendapati udzur maka katakan, barangkali dia memiliki udzur yang aku
tidak mengetahuinya.”
Wallahu a’lam. (***)
Sumber rujukan:
- Fathul Qadir, al-Imam Muhammad bin Ali asy-Syaukani – rahimahullah -
- Tafsir al-Quran al-Karim, Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin – rahimahullah -
- Syarh Shahih Muslim, al-Imam an-Nawawi – rahimahullah -
- Tafsir Ibni Katsir – rahimahullah -
- dll.
- Fathul Qadir, al-Imam Muhammad bin Ali asy-Syaukani – rahimahullah -
- Tafsir al-Quran al-Karim, Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin – rahimahullah -
- Syarh Shahih Muslim, al-Imam an-Nawawi – rahimahullah -
- Tafsir Ibni Katsir – rahimahullah -
- dll.
Sumber: Rubrik Lentera Majalah Sakinah Vol. 11 No. 6
Tiada ulasan:
Catat Ulasan