Secara etimologi, dalam bahasa Arab, namimah bermakna suara perlahan atau gerakan.
Secara istilah pada dasarnya namimah
adalah menceritakan perkataan seseorang kepada orang yang menjadi bahan
pembicaraan. Namun bentuk namimah tidak harus seperti itu. Tolak ukur
namimah adalah setiap pembeberan perkara yang tidak disukai untuk
diungkapkan, baik yang tidak suka itu, orang yang menjadi sumber berita
atau orang yang diberi tahu,atau yang lain, baik isi berita berupa
ucapan ataupun perbuatan, baik isi pembicaraan itu sebuah aib ataukah
bukan.
قَالَ الْعُلَمَاء : النَّمِيمَة نَقْل كَلَامِ النَّاسِ بَعْضِهِمْ إِلَى بَعْضٍ عَلَى جِهَةِ الْإِفْسَادِ بَيْنهمْ .
Sedangkan an Nawawi mengatakan bahwa
para ulama mendefinisikan namimah dengan menyampaikan perkataan
seseorang kepada orang lain dengan tujuan merosak hubungan di antara
mereka (Syarh Nawawi untuk Shahih Muslim 1/214, Syamilah).
Keharaman Namimah
Namimah adalah suatu yang diharamkan berdasarkan al Qur’an, sunnah dan kesepakatan seluruh umat Islam.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَهِينٍ (10) هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ (11) مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيمٍ (12)
“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang
yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian ke mari
menghambur fitnah, yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang
melampaui batas lagi banyak dosa” (QS al Qalam:10-12).
عَنْ هَمَّامٍ قَالَ كُنَّا مَعَ
حُذَيْفَةَ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ رَجُلاً يَرْفَعُ الْحَدِيثَ إِلَى
عُثْمَانَ . فَقَالَ حُذَيْفَةُ سَمِعْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم –
يَقُولُ « لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ »
Dari Hammam, Kami sedang duduk-duduk
bersama Hudzaifah lalu ada yang berkata kepada Hudzaifah, “Sungguh ada
orang yang melaporkan perkataan orang lain kepada Khalifah Utsman”.
Hudzaifah lantas berkata, aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Qattat itu tidak akan masuk surga” (HR Bukhari no 5709
dan Muslim no 304).
عَنْ حُذَيْفَةَ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ
رَجُلاً يَنِمُّ الْحَدِيثَ فَقَالَ حُذَيْفَةُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ ».
Dari Hudzaifah, beliau mendapatkan
laporan tentang adanya seseorang yang suka melakukan namimah maka beliau
mengatakan bahwa beliau mendengar Rasulullah bersabda, “Nammam (orang
yang melakukan namimah) itu tidak akan masuk surga” (HR Muslim no 303).
Namam adalah orang yang mendengar langsung sebuah berita kemudian menyampaikannya. Sedangkan qattat adalah orang yang mendengar berita dari sumber yang tidak jelas kemudian menyampaikannya.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ
إِنَّ مُحَمَّدًا -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ مَا
الْعَضْهُ هِىَ النَّمِيمَةُ الْقَالَةُ بَيْنَ النَّاسِ ».
Dari Abdullah bin Mas’ud, sesungguhnya Muhammad berkata, “Maukah kuberitahukan kepada kalian apa itu al’adhhu? Itulah namimah, perbuatan menyebarkan berita untuk merusak hubungan di antara sesama manusia” (HR Muslim no 6802).
Ibnu Abdil Barr menyebutan dari Yahya bin Abi Katsir bahwa beliau mengatakan,
“Tukang mengadu domba dan tukang bohong dalam waktu sesaat itu mampu merosak masyarakat yang jika dilakukan tukang sihir memerlukan waktu setahun”.
“Tukang mengadu domba dan tukang bohong dalam waktu sesaat itu mampu merosak masyarakat yang jika dilakukan tukang sihir memerlukan waktu setahun”.
Abul Khattab dalam ‘Uyun al Masail mengatakan,
“Termasuk sihir adalah melakukan namimah dan merusak hubungan di antara manusia” [Fathul Majid Syarh Kitab at Tauhid hal 350, terbitan Dar al Fikr Beirut].
“Termasuk sihir adalah melakukan namimah dan merusak hubungan di antara manusia” [Fathul Majid Syarh Kitab at Tauhid hal 350, terbitan Dar al Fikr Beirut].
Namimah termasuk sihir karena memiliki
kesamaan dalam hal mampu memecah belah manusia, merubah hati dua orang
yang semula saling mencintai dan juga dalam kemampuan menimbulkan
kejahatan.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَرَّ
النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِحَائِطٍ مِنْ حِيطَانِ الْمَدِينَةِ
أَوْ مَكَّةَ ، فَسَمِعَ صَوْتَ إِنْسَانَيْنِ يُعَذَّبَانِ فِى
قُبُورِهِمَا ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « يُعَذَّبَانِ ،
وَمَا يُعَذَّبَانِ فِى كَبِيرٍ » ، ثُمَّ قَالَ « بَلَى ، كَانَ
أَحَدُهُمَا لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ ، وَكَانَ الآخَرُ يَمْشِى
بِالنَّمِيمَةِ » .
Dari Ibnu Abbas, ketika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati sebuah kebun di Madinah atau
Mekah beliau mendengar suara dua orang yang sedang disiksa dalam
kuburnya. Nabi bersabda, “Keduanya sedang disiksa dan tidaklah keduanya
disiksa karena masalah yang sulit untuk ditinggalkan”. Kemudian beliau
kembali bersabda, “Memang masalah mereka adalah dosa besar. Orang yang
pertama tidak menjaga diri dari percikan air kencingnya sendiri.
Sedangkan orang kedua suka melakukan namimah” (HR Bukhari no 213)
Setiap orang yang diadu domba dengan ada orang yang mengatakan kepada dirinya, “Si A telah mencelamu atau telah melakukan demikian dan demikian untuk menyakitimu” itu memiliki kewajiban untuk melakukan enam hal berikut ini.
1. Tidak langsung menerima ucapan orang itu karena tukang adu domba adalah orang fasik yang omongannya tidak boleh dipercaya.
2. Melarangnya melakukan perbuatan tersebut, memberikan nasehat dan mencela perbuatannya.
3. Membencinya karena Allah. Hal ini disebabkan dia adalah orang yang Allah benci. Sedangkan membenci orang yang Allah benci adalah suatu kewajiban.
4. Tidak berburuk sangka kepada sia A.
5. Tidak boleh memata-matai dan mencari-cari kebenaran berita yang baru saja dia terima.
6. Namimah yang dia dengar tidak boleh menyebabkannya membalas dengan namimah pula. Dia tidak rela dengan namimah yang dilakukan oleh tukang adu domba itu. Karenanya seharusnya dia tidak menceritakan namimah yang dilakukan oleh tukang adu domba tersebut. Misalnya dengan mengatakan, “Si B bercerita bahwa si A berkata demikian dan demikian”. Jika hal ini dia lakukan berarti dia juga menjadi tukang adu domba dan sama saja melakukan perkara yang dia larang sendiri.
Namimah yang diperbolehkan
Jika namimah dilakukan kerana suatu keperluan maka hukumnya diperbolehkan.
Sebagai contoh ada orang yang memberitahu si B bahwa si A akan membunuhnya, salah satu anggota keluarga atau hendak merampas hartanya.
Contoh yang lain adalah orang yang melapor kepada pemerintah atau pihak yang berwenang dengan mengatakan bahwa ada seseorang yang telah melakukan suatu tindakan yang berbahaya dan menjadi kewajiban penguasa untuk menangani dan menumpasnya. Semua perkara ini hukumnya tidaklah haram. Begitu pula perkara-perkara serupa bahkan terkadang hukumnya menjadi wajib atau sunnah tergantung situasi dan kondisi.
Sebagai contoh ada orang yang memberitahu si B bahwa si A akan membunuhnya, salah satu anggota keluarga atau hendak merampas hartanya.
Contoh yang lain adalah orang yang melapor kepada pemerintah atau pihak yang berwenang dengan mengatakan bahwa ada seseorang yang telah melakukan suatu tindakan yang berbahaya dan menjadi kewajiban penguasa untuk menangani dan menumpasnya. Semua perkara ini hukumnya tidaklah haram. Begitu pula perkara-perkara serupa bahkan terkadang hukumnya menjadi wajib atau sunnah tergantung situasi dan kondisi.
Penyampaian berita yang tercela adalah jika bertujuan untuk merosak hubungan.
Sedangkan orang yang bermaksud baik dengan perkataan yang apa adanya
dan berusaha untuk tidak menyakiti pihak manapun maka hukumnya tidaklah
mengapa. Namun sedikit sekali orang yang memiliki kemampuan untuk bisa
membedakan namimah yang dibolehkan dengan namimah yang terlarang. Oleh
karena itu, jalan selamat bagi orang yang belum bisa membezakan dua hal
ini adalah dengan diam.
Samakah Ghibah dan Namimah
Terdapat perbezaan pendapat tentang
apakah ghibah (menggunjing) itu sama dengan namimah ataukah kedua
istilah tersebut adalah dua hal yang berbeza. Pendapat yang paling kuat
dua istilah tersebut berbeza. Di satu sisi, namimah itu lebih luas
dibandingkan ghibah. Di sisi lain, ghibah itu lebih luas dari pada
namimah. Namimah adalah menceritakan perkataan atau perbuatan A kepada B
dengan tujuan merosak hubungan baik di antara kedua. Cerita ini
diceritakan tanpa kerelaan A baik A tahu ataukah tidak tahu.
Sedangkan ghibah adalah menceritakan orang lain pada saat dia tidak ada mengenai hal-hal yang tidak dia sukai seandainya dicerita-ceritakan.
Sedangkan ghibah adalah menceritakan orang lain pada saat dia tidak ada mengenai hal-hal yang tidak dia sukai seandainya dicerita-ceritakan.
Ciri khas namimah adalah ada tujuan
untuk merusak hubungan baik namun tidak disyaratkan orang yang menjadi
objek pembicaraan tersebut tidak ada di tempat.
Ciri khas ghibah adalah objek yang dibicarakan tidak ada di tempat pembicaraan.
Selain hal di atas ghibah dengan namimah itu sama.[Lhat Fathul Bari Ibnu Hajar 17/216, Syamilah].
Ciri khas ghibah adalah objek yang dibicarakan tidak ada di tempat pembicaraan.
Selain hal di atas ghibah dengan namimah itu sama.[Lhat Fathul Bari Ibnu Hajar 17/216, Syamilah].
Tiada ulasan:
Catat Ulasan