JOM BOOKCAFE

Jumaat, 22 Ogos 2014

BERKABUNG? SEPULUH PERKARA YANG PERLU DIBERI PERHATIAN


10 Hal Berkabung Yang Perlu Anda Ketahui Mengikut Petunjuk Al-Quran Dan As-Sunnah

1. Istirja’

Istirja’ adalah ccapan terbaik apabila dilanda musibah. Ucapan yang diajar Nabi ﷺ adalah "inna lillaahi wa inna ilaihi rajiun".

"Dan sungguh akan Kami berikan cubaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (iaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan,"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un." Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk". [Surah Al Baqarah, Ayat 155-157]

2. Bantu keluarga si mati. Beri makan

Apabila berlaku kematian, ahli keluarga pasti berada dalam kesedihan. Kita sebagai umat Islam patut memahami situasi ahli keluarga yang baru kematian orang yang tersayang. Apa yang diajar oleh Islam adalah kita mengucapkan takziah, membantu dalam urusan jenazah dan memudahkan urusan mereka seperti memberi mereka makan. 

Ketika datang berita kematian seorang sahabat yang bernama Ja’far, Rasulullah bersabda: “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, kerana mereka ditimpa dengan sesuatu yang menyibukkan.” [Ibn Majjah no: 1610]

3. Tiga [3] hari bersedih

Sabda Rasulullah ﷺ: 

"Tidak boleh seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk berkabung atas kematian melebihi tiga hari, kecuali atas kematian suaminya" [HR Muslim dalam Sahih-nya, Kitab Thalaq, bab Wujub Al Ihdaad, no. 3714]

4. Bagi Isteri yang kematian suami, tempoh berkabung baginya empat [4] bulan sepuluh [10] hari

Allah berfirman: 

"Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu, sedang mereka meninggalkan isteri-isteri hendaklah isteri-isteri itu menahan diri mereka (beridah) selama empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa idahnya itu maka tidak ada salahnya bagi kamu mengenai apa yang dilakukan mereka pada dirinya menurut cara yang baik (yang diluluskan oleh Syarak). Dan (ingatlah), Allah sentiasa mengetahui dengan mendalam akan apa jua yang kamu lakukan." [Surah Al Baqarah, Ayat 234]

Sabda ﷺ:

"Tidak boleh seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk berkabung atas kematian melebihi tiga hari, kecuali atas kematian suaminya" [HR Muslim dalam Shahih-nya, Kitab Thalaq, bab Wujub Al Ihdaad, no. 3714] 

Dan dalam riwayat Bukhari terdapat tambahan lafazh:

"Maka ia berkabung atas hal tersebut selama empat bulan sepuluh hari" [HR Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab Al Janaaiz, bab Ihdaad Al Mar’ah ‘Ala Ghairi Zaujiha, no. 1280. Lihat Fathul Bari, Op.cit, hlm. 3/146.]

Dari Zainab bintu Abu Salamah, beliau berkata :

"Aku telah mendengar Ummu Salamah berkata: “Seorang wanita datang menemui Rasulullah ﷺ dan berkata,’Wahai, Rasulullah! Sesungguhnya puteriku ditinggalkan oleh suaminya yang mati, dan dia mengeluhkan sakit pada matanya. Apakah dia boleh mengenakan celak mata?’.” Lalu Rasulullah menjawab “Tidak!” sebanyak dua atau tiga kali, semuanya dengan kata tidak. Kemudian Rasulullah berkata: “Itu harus empat bulan sepuluh hari, dan dahulu, salah seorang dari kalian pada zaman jahiliyah membuang kotoran binatang pada akhir tahun.” [HR Bukhari, Kitab Thalaq, Bab Tahiddu Al Mutawaffa ‘Anha Arba’ata Asyhur Wa ‘Asyra, no. 5.335. Lihat Fathul Bari, Op.cit, hlm. 9/484.]

5. Tidak boleh bersolek atau berhias dalam tempoh berkabung

Berkabung, dalam bahasa Arabnya adalah al hadaad ( الْحَدَادُ ). Maknanya, tidak mengenakan perhiasan baik berupa pakaian yang menarik, minyak wangi atau lainnya yang dapat menarik orang lain untuk menikahinya [1].

Pendapat lain menyatakan, al hadaad adalah sikap wanita yang tidak mengenakan segala sesuatu yang dapat menarik orang lain untuk menikahinya seperti minyak wangi, celak mata dan pakaian yang menarik dan tidak keluar rumah tanpa keperluan mendesak, setelah kematian suaminya [2].

[1] Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar, tanpa cetakan dan tahun, Al Maktabah As Salafiyah, Mesir, hlm. 3/146

[2] Lihat Al Kalimaat Al Bayyinaat Fi Ahkam Hadaad Al Mukminat, Muhammad Al Hamuud An Najdi, Cetakan Pertama, Tahun 1415 H, Dar Al Fath, hlm. 8.

6. Haram memakai pakaian khusus tanda berkabung

Islam tidak mengajarkan di dalam berkabung untuk memakai sesuatu pakaian yang khusus. Memakai pakaian khusus tanda berkabung adalah tasyabbuh atau maksud lainnya menyerupai kaum atau agama lain.

Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

“Barang siapa menyerupai suatu kaum, dia termasuk golongan mereka.” [HR. Abu Dawud no. 4026 dengan sanad yang hasan. Lihat Jilbab al-Mar’atul Muslimah hlm. 203 karya al-Albani]

7. Tiada pakaian khusus berkabung samada gelap atau hitam

8. Kibar bendera separuh tiang tiada asas dalam agama

9. Malaysia patut menjadi contoh kepada negara lain cara berkabung menurut Islam. Bukan dengan cara meniru agama lain

Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata bahawa Rasulullah ﷺ bersabda,

“Barang siapa menyerupai suatu kaum, dia termasuk golongan mereka.” [HR. Abu Daud no. 4026 dengan sanad yang hasan. Lihat Jilbab al-Mar’atul Muslimah hlm. 203 tulisan Syeikh al-Albani]

10. Mungkin ada yang berpendapat beberapa ritual semasa berkabung adalah adat kebiasaan maka terpulanglah. Kami hanya menyampaikan apa yang dinyatakan di dalam Islam. Wallahua'lam

Ini adalah pendirian dan pendapat Dr Fadlan Mohd Othman dan Dr Fathul Bari Mat Jahya dari Pertubuhan Ilmuan Malaysia di dalam isu berkabung. Semoga bermanfaat.

Isnin, 18 Ogos 2014

HUKUM PRASANGKA DAN FIKIHNYA..!

Buruk sangka, suatu sikap tercela yang sangat merosak dan hampir-hampir tidak ada orang yang selamat darinya. Hal ini kerana syaitan senantiasa berusaha menumbuhkan benih-benih perpecahan di antara manusia, terutama sesama kaum muslimin. Sampai-sampai keluarga Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – pun pernah mendapatkan dampak buruk dari persangkaan buruk yang tersebar di tengah-tengah kaum muslimin.
 
Ketika Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – pulang bersama rombongannya dari peperangan Bani Mushthaliq, ketika singgah di suatu tempat, Aisyah – radhiyallahu ‘anha – kehilangan kalungnya ketika buang hajat, sehingga dia pun mencarinya dan akhirnya tertinggal oleh rombongan. Lalu Aisyah – radhiyallahu ‘anha – pun memutuskan untuk diam dan menunggu kalau-kalau rombongan itu sedar dan kembali untuk mencari Aisyah – radhiyallahu ‘anha -. Namun ternyata masih ada seorang sahabat, Shafwan bin Mu’aththal – radhiyallahu ‘anhu – yang memang berada paling akhir dari rombongan, dan dia pun melihat Aisyah – radhiyallahu ‘anha -. Akhirnya, Aisyah – radhiyallahu ‘anha – naik kendaraan milik Shafwan – radhiyallahu ‘anhu – tanpa berbicara sedikit pun, sedangkan Shafwan berjalan kaki sehingga keduanya sampai di Madinah dan dilihat oleh banyak orang.
Ketika itulah orang-orang – terutama orang-orang munafik – mulai berprasangka buruk terhadap keduanya sehingga tersebar berita yang tidak benar tentang Aisyah – radhiyallahu ‘anha -. Berita itu pun sampai pada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan menjadikan gempar keluarga Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan Abu Bakr – radhiyallahu ‘anhu -. Sampai akhirnya Allah menurunkan wahyu-Nya akan kesucian Aisyah – radhiyallahu ‘anha -, dan kedustaan berita yang telah tersebar tentangnya.
Dan dapat kita bayangkan ketika kita membaca kisah ini secara lengkap, bagaimana kesedihan dan kesusahan keluarga Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan Abu Bakr – radhiyallahu ‘anhu -, terutama Aisyah – radhiyallahu ‘anha – akibat dari persangkaan yang buruk ini.
Oleh karena itulah, Allah S.W.T memperingatkan dengan tegas agar  kaum mukminin menjauhi banyak dari persangkaan. Allah l berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari persangkaan, karena sebagian dari persangkaan itu adalah dosa.” (al-Hujurat: 12)
Dan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – juga bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ
“Jauhilah oleh kalian persangkaan, karena persangkaan itu adalah ucapan yang paling dusta.” (Muttafaq ‘alaih)

Ayat dan hadits di atas merupakan salah satu landasan penting dalam sikap seorang muslim terhadap saudaranya. Dan dari nash inilah – dan juga dari nash-nash lainnya – para ulama telah memberikan penjelasan tentang hukum persangkaan. Berikut ini beberapa hal terkait hukum persangkaan sebagaimana telah disampaikan oleh para ulama.

Pentingnya masalah ini.
Dua nash tersebut di atas menunjukkan betapa pentingnya permasalahan ini. Dalam ayat, sebelum Allah menyampaikan larangan-Nya, Allah mendahuluinya dengan seruan kepada orang-orang yang beriman. Dan ini jelas menunjukkan pentingnya permasalahan ini. Telah diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud – radhiyallahu ‘anhu – beliau berkata, “Jika engkau mendengar Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman” maka pasanglah telingamu, kerana mungkin (yang akan disampaikan adalah) kebaikan yang Dia perintahkan atau keburukan yang Dia larang.”

Tidak semua persangkaan terlarang.
Ini ditunjukkan oleh firman Allah, “karena sebagian dari persangkaan itu adalah dosa.” Artinya, tidak semua persangkaan itu adalah dosa, dan tidak semua persangkaan itu terlarang. Karena persangkaan itu terbagi menjadi dua:
1- Persangkaan baik terhadap seorang muslim. Maka ini adalah sesuatu yang dituntut dari seorang muslim terhadap saudaranya yang secara lahiriah adalah orang yang baik.
2- Persangkaan buruk. Inilah yang terlarang jika persangkaan ini ditujukan kepada seorang muslim yang secara lahiriah adalah orang yang baik. Para ulama telah menyatakan, “Tidak halal berburuk sangka terhadap seorang muslim yang secara lahiriah adalah orang yang baik.”

Prasangka buruk TIDAK MUTLAK terlarang.
Jika persangkaan buruk kepada seorang muslim yang secara lahiriahnya baik adalah terlarang, lalu bagaimana jika ada seseorang yang memang ada tanda-tanda atau indikasi keburukan? Bolehkah berprasangka buruk kepadanya?
Jawabnya, tidak mengapa berprasangka buruk kepada orang yang memiliki indikasi atau tanda-tanda adanya keburukan pada dirinya. Oleh kerana itu ada pepatah arab yang ertinya, “jagalah diri kalian dari manusia dengan buruk sangka.” Akan tetapi tentu saja kebolehan buruk sangka ini bukan sesuatu yang mutlak. Artinya, hanya boleh ditujukan kepada orang-orang yang ada indikasi keburukan padanya. Misalnya, seorang yang memiliki indikasi atau tanda-tanda akan merampak, mencuri atau berbuat jahat, maka boleh saja kita menaruh curiga dan berburuk sangka kepadanya dalam rangka untuk berwaspada terhadap orang tersebut.
Az-Zujjaj – rahimahullah – berkata menjelaskan tentang buruk sangka yang terlarang, “Yaitu berprasangka buruk kepada orang yang baik. Adapun orang-orang yang buruk dan jahat, maka kita boleh berprasangka terhadap mereka sebagaimana yang nampak dari mereka.”
Dan Imam al-Qurthubi – rahimahullah – telah menghikayatkan perkataan dari majoriti ulama bahwa persangkaan yang buruk terhadap orang yang lahiriahnya baik tidak dibolehkan, namun tidak mengapa bersangka buruk terhadap orang yang lahiriahnya buruk.

Persangkaan yang dosa.
Kemudian, perlu kita pahami di sini, bahwa persangkaan buruk yang dimaksud, yakni yang dapat mendatangkan dosa adalah persangkaan yang menetap dalam hati dan diucapkan oleh lisan. Adapun persangkaan yang hanya berupa lintasan yang terbetik dalam hati saja, dan tidak menetap dalam hati apalagi terucap oleh lisan, maka persangkaan ini bukanlah persangkaan yang mendatangkan dosa.
Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda,
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku dari apa yang dibicarakan oleh hatinya, selama dia tidak melakukan atau mengucapkannya (dengan lisan).” (Muttafaq ‘alaih)

Al-Khathabi – rahimahullah – berkata tentang persangkaan yang terlarang, “Yaitu persangkaan yang diwujudkan dan dibenarkan, bukan semata yang terlintas dalam hati karena yang ini tidak dikuasai.”
Al-Qadhi menukil dari Sufyan bahwa dia berkata, “Persangkaan yang dosa adalah persangkaan yang diucapkan. Jika tidak diucapkan maka tidak berdosa.”
Muqatil bin Sulaiman dan Muqatil bin Hayyan juga berkata, “Yaitu berprasangka buruk kepada saudara muslimnya, dan itu tidak mengapa selama tidak diucapkan, namun bila diucapkan dan dinampakkan maka dia berdosa.”

Selasa, 5 Ogos 2014

WASPADALAH TERHADAP PERANGKAP RIYA..!


Oleh : Syaikh Husain bin Audah Al-Awayisyah

IKHLAS UNTUK ALLAH TA’ALA [1]

Apa Syarat Diterimanya Amal?
Sebelum anda melangkah satu langkah –wahai saudaraku muslim- hendaklah anda mengetahui jalan untuk mendapatkan keselamatanmu. Janganlah anda memberati diri dengan amalan-amalan yang banyak,. Karena, alangkah banyak orang yang memperbanyak amalan, namun hal itu tidak memberikan manfaat kepadanya kecuali rasa penat dan keletihan semata di dunia dan siksaan di akhirat. [2]

Maka, sebelum memulai semua amalan, hendaklah anda mengetahui syarat diterimanya amal. Yaitu harus terpenuhi dua perkara penting pada setiap amalan. Jika salah satu tidak tercapai, akibatnya amalan seseorang tidak ada harapan untuk diterima. Pertama : Ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kedua : Amalan itu telah diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an, atau dijelaskan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnahnya, dan mengikuti Rasulullah dalam pelaksanaannya.