Oleh:Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim
‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu menulis surat kepada ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu yang isinya, “Amma ba'du. Sesungguhnya seseorang merasa rugi dengan sesuatu yang hilang darinya, padahal hal itu tidak akan bisa ia dapatkan dan merasa bahagia dengan mendapatkan sesuatu yang pasti ia dapatkan. Maka berbahagialah dengan apa-apa yang aku ucapkan dari urusan akhirat dan menyesallah dari sesuatu yang hilang darimu akan urusan akhirat, janganlah terlalu bahagia dengan apa yang engkau dapatkan dari urusan dunia. Dan jadikanlah semua fikiranmu tertuju kepada sesuatu yang terjadi setelah kematian. ”
Aku melihat pencari dunia, walaupun umurnya panjang,
dan mendapatkan kebahagiaan, juga kenikmatan darinya.
Bagaikan seorang tukang bangunan yang membangun,
setelah bangunan yang ia buat berdiri tegak, maka bangunan itu roboh. [1]
Saudaraku tercinta…
Sebab kekeliruan hidup itu ada lima macam dan sepatutnya seseorang merasakan kekeliruan karena kelima macam tersebut:
Pertama : Kekeliruan karena dosa pada masa lampau, karena dia telah melakukan sebuah perbuatan dosa sedangkan dia tidak tahu apakah dosa tersebut diampuni atau tidak? Dalam keadaan tersebut dia harus selalu merasakan kegalauan dan sibuk karenanya.
Kedua : Dia telah melakukan kebaikan, tetapi dia tidak tahu apakah kebaikan tersebut diterima atau tidak.
Ketiga : Dia mengetahui kehidupannya yang telah lalu dan apa yang terjadi kepadanya, tetapi dia tidak mengetahui apa yang akan menimpanya pada masa mendatang.
Keempat : Dia mengetahui bahwa Allah menyiapkan dua tempat untuk manusia pada hari Kiamat, tetapi dia tidak mengetahui ke manakah dia akan kembali (apakah ke Surga atau ke Neraka)?
Kelima : Dia tidak tahu apakah Allah ridha kepadanya atau membencinya?
Siapa yang merasa keliru dengan lima hal di atas dalam kehidupannya, maka tidak ada kesempatan baginya untuk tertawa. [2]
Ibrahim at-Taimi rahimahullah berkata, “Berapa jarak antara kalian dengan mereka (orang-orang shalih)? Dunia datang kepada mereka, tetapi mereka meninggalkannya, dan dunia meninggalkan kalian, tetapi kalian terus mengejarnya.” [3]
Seakan-akan engkau tidak mendengar berita orang-orang terdahulu, dan tidak melihat apa yang dilakukan oleh zaman terhadap mereka yang ada.
Jika engkau tidak tahu, maka itu semua adalah rumah-rumah mereka,
yang dihancurkan oleh angin dan hujan.
Demikianlah mereka semua telah berlalu dan orang yang ada sekarang ini,
berlalu sehingga mereka semua kelak dikumpulkan.
Sampai bila engkau tidak bangkit sedangkan waktu yang ditentukan telah dekat dan sampai bila bendungan di dalam hatimu tidak terbelah.
Sungguh engkau akan bangkit ketika semua penutup telah terbuka dan engkau akan mengingat kata-kataku ketika tidak bermanfaat lagi apa yang engkau ingat.
Abu Dzarr al-Ghifari Radhiyallahu 'anhu berdiri di dekat Ka’bah dan berkata, “Wahai manusia, aku adalah Jundub al-Ghifari, marilah kita menuju saudara kita yang selalu memberikan nasihat.” Lalu yang lainnya berkerumun mengelilinginya, beliau berkata, “Bagaimana pendapat kalian jika hendak melakukan perjalanan, bukankah dia akan menyiapkan perbekalan dan segala sesuatu yang diperlukannya?” Mereka semua menjawab, “Tentu saja.” Lalu dia berkata lagi, “Sesungguhnya perjalanan menuju akhirat adalah lebih jauh, maka ambillah segala sesuatu yang kalian perlukan!” Mereka semua bertanya, “Apa yang kami butuhkan itu?” Beliau berkata, “Lakukanlah haji sebagai persiapan untuk masalah-masalah yang sangat besar. Berpuasalah pada suatu hari yang sangat panas sebagai bekal untuk hari di mana semua manusia dikumpulkan. Lakukanlah shalat dua raka’at di malam yang gelap sebagai persiapan bagi ketakutan di dalam kubur, sebuah kalimat yang baik engkau katakan atau diam untuk tidak mengungkapkan kata-kata yang jelek sebagai bekal bagi hari yang sangat agung, bershadaqahlah dengan hartamu agar engkau selamat pada hari yang penuh dengan kesulitan, jadikanlah dunia menjadi dua majelis: satu majelis untuk mencari yang halal (rizki) dan satu majelis untuk mencari kebahagiaan di akhirat, sedangkan yang ketiganya akan mencelakakanmu dan tidak bermanfaat bagimu. Bagilah harta itu menjadi dua dirham, satu dirham dinafkahkan untuk keluarga dan satu dirham lainnya engkau persembahkan untuk akhirat.”
Saudaraku semuslim…
Lihatlah orang yang mendapatkan dunia dan perhiasannya,
apakah dia pergi dengan membawa selain amal dan kafan.
Al-Hasan al-Bashri, kehidupannya sangat berbeda dengan kehidupan kita, beliau rahimahullah berkata, “Aku mendapati suatu kaum (para Sahabat Nabi) dan bersanding dengan beberapa orang dari mereka, mereka sama sekali tidak merasa senang dengan dunia yang didapatkan dan sama sekali tidak mengejar dunia yang lari dari mereka. Dunia di mata mereka lebih hina daripada tanah, bahkan salah satu di antara mereka hidup selama lima puluh tahun atau enam puluh tahun. Akan tetapi ia tidak pernah memiliki pakaian yang cukup dan tidak pernah memiliki tungku yang baik, ia sama sekali tidak membuat penghalang antara tanah dengan dirinya dan tidak pernah memerintahkan orang yang ada di rumahnya untuk membuat sebuah makanan baginya. Tetapi ketika malam tiba, mereka menancapkan kedua kaki dengan berdiri dan menghamparkan wajah-wajah mereka untuk bersujud, air mata berlinang, mengalir di garis wajah mereka dengan bermunajat kepada Rabb dalam kebebasan mereka. Jika mereka melakukan suatu kebaikan, maka mereka selalu mensyukurinya dan memohon kepada Allah agar amal itu diterima. Dan jika mereka melakukan kejelekan, maka perasaan sedih selalu menghantui dan mereka pun terus memohon kepada Allah agar diampuni. Demi Allah, mereka sama sekali tidak akan selamat dari dosa kecuali dengan ampunan Allah sebagai kasih-sayang dan karunia bagi mereka.”[4]
Saudaraku tercinta, di manakah kita di antara mereka?!
Engkau menyambungkan dosa dengan dosa dan berharap mendapatkan,
Surga dan kebahagiaan ahli ibadah dengannya.
Dan engkau lupa sesungguhnya Allah mengeluarkan Adam,
darinya menuju dunia hanya karena satu kesalahan (dosa).
Kita -wahai saudaraku- mencari kenikmatan dan kebahagiaan dengan menjauhi segala kekeruhan.
Inilah keadaan kita, adapun keadaan Abud Darda’ sebagaimana yang digambarkan oleh beliau dalam ungkapannya, “Aku mencintai kefakiran karena kerendahan hatiku kepada Allah, aku mencintai kematian karena kerinduanku kepada-Nya, dan aku mencintai kondisiku dalam keadaan sakit sebagai penghapus atas dosa-dosaku.”[5]
Manusia memiliki ketamakan terhadap dunia dengan rencananya,
sedangkan kejernihannya telah tercampur dengan kekeruhan.
Setelah dunia itu dibagikan, sebenarnya mereka sama sekali tidak dikaruniai rizki karena akal mereka, akan tetapi mereka dikaruniai dengan takdir Allah.
Berapa banyak orang yang beradab lagi cerdas tetapi dunia tidak memihak kepadanya
dan berapa banyak orang bodoh yang mendapatkan dunia hanya dengan kelalaian.
Seandainya dunia itu didapatkan dengan kekuatan atau dengan menggulingkan,
niscaya helang akan terbang dengan membawa makanan burung pipit. [6]
Dunia walaupun dia adalah sesuatu yang sangat hina, hanya saja dia adalah sebuah lorong perjalanan menuju akhirat dan sebuah jembatan menuju dua tempat, Surga atau Neraka. Marilah kita melihat satu lorong yang mengantarkan seseorang menuju Surga, yaitu amal (shalih) di dunia.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Seseorang dari kalangan sebelum kalian dihisab akan tetapi tidak didapat darinya satu kebaikan pun hanya saja dia adalah orang yang selalu bergaul dengan selainnya yang ada dalam keadaan sulit, dia memerintahkan anak mudanya untuk membayarkan hutang orang yang sulit tadi. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, ‘Aku sebenarnya lebih berhak untuk melakukannya, maka ampunilah ia.’” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dengan lafazh milik Muslim]
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Amal yang paling sulit adalah tiga macam: berderma dalam keadaan sulit, wara’ dalam keadaan menyendiri dan sebuah ungkapan yang hak di hadapan orang yang diharapkan dan orang yang ditakuti.”[7]
Al-Hasan rahimahullah berkata, “Esok hari setiap orang sesuai dengan apa yang menjadi beban fikirannya dan setiap orang yang memikirkan sesuatu, maka dia akan banyak mengingatnya. Sesungguhnya tidak ada dunia bagi orang yang tidak memikirkan akhirat. Dan siapa saja yang lebih mementingkan dunia daripada akhirat, maka dia tidak akan mendapatkan dunia dan akhirat.”[8]
[Disalin dari kitab Ad-Dun-yaa Zhillun Zaa-il, Penulis ‘Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim, Edisi Indonesia Menyikapi Kehidupan Dunia Negeri Ujian Penuh Cobaan, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Irsyaadil ‘Ibaad, hal. 120.
[2]. Tanbiihul Ghaafiliin (I/213).
[3]. Shifatush Shafwah (III/90) dan as-Siyar (V/61).
[4]. Al-Ihyaa’ (IV/239).
[5]. Az-Zuhd, hal. 217.
[6]. Taariikhul Khulafaa’, hal. 171.
[7]. Shifatush Shafwah (II/251).
[8]. Hilyatul Auliyaa’, hal. 144
Aku melihat pencari dunia, walaupun umurnya panjang,
dan mendapatkan kebahagiaan, juga kenikmatan darinya.
Bagaikan seorang tukang bangunan yang membangun,
setelah bangunan yang ia buat berdiri tegak, maka bangunan itu roboh. [1]
Saudaraku tercinta…
Sebab kekeliruan hidup itu ada lima macam dan sepatutnya seseorang merasakan kekeliruan karena kelima macam tersebut:
Pertama : Kekeliruan karena dosa pada masa lampau, karena dia telah melakukan sebuah perbuatan dosa sedangkan dia tidak tahu apakah dosa tersebut diampuni atau tidak? Dalam keadaan tersebut dia harus selalu merasakan kegalauan dan sibuk karenanya.
Kedua : Dia telah melakukan kebaikan, tetapi dia tidak tahu apakah kebaikan tersebut diterima atau tidak.
Ketiga : Dia mengetahui kehidupannya yang telah lalu dan apa yang terjadi kepadanya, tetapi dia tidak mengetahui apa yang akan menimpanya pada masa mendatang.
Keempat : Dia mengetahui bahwa Allah menyiapkan dua tempat untuk manusia pada hari Kiamat, tetapi dia tidak mengetahui ke manakah dia akan kembali (apakah ke Surga atau ke Neraka)?
Kelima : Dia tidak tahu apakah Allah ridha kepadanya atau membencinya?
Siapa yang merasa keliru dengan lima hal di atas dalam kehidupannya, maka tidak ada kesempatan baginya untuk tertawa. [2]
Ibrahim at-Taimi rahimahullah berkata, “Berapa jarak antara kalian dengan mereka (orang-orang shalih)? Dunia datang kepada mereka, tetapi mereka meninggalkannya, dan dunia meninggalkan kalian, tetapi kalian terus mengejarnya.” [3]
Seakan-akan engkau tidak mendengar berita orang-orang terdahulu, dan tidak melihat apa yang dilakukan oleh zaman terhadap mereka yang ada.
Jika engkau tidak tahu, maka itu semua adalah rumah-rumah mereka,
yang dihancurkan oleh angin dan hujan.
Demikianlah mereka semua telah berlalu dan orang yang ada sekarang ini,
berlalu sehingga mereka semua kelak dikumpulkan.
Sampai bila engkau tidak bangkit sedangkan waktu yang ditentukan telah dekat dan sampai bila bendungan di dalam hatimu tidak terbelah.
Sungguh engkau akan bangkit ketika semua penutup telah terbuka dan engkau akan mengingat kata-kataku ketika tidak bermanfaat lagi apa yang engkau ingat.
Abu Dzarr al-Ghifari Radhiyallahu 'anhu berdiri di dekat Ka’bah dan berkata, “Wahai manusia, aku adalah Jundub al-Ghifari, marilah kita menuju saudara kita yang selalu memberikan nasihat.” Lalu yang lainnya berkerumun mengelilinginya, beliau berkata, “Bagaimana pendapat kalian jika hendak melakukan perjalanan, bukankah dia akan menyiapkan perbekalan dan segala sesuatu yang diperlukannya?” Mereka semua menjawab, “Tentu saja.” Lalu dia berkata lagi, “Sesungguhnya perjalanan menuju akhirat adalah lebih jauh, maka ambillah segala sesuatu yang kalian perlukan!” Mereka semua bertanya, “Apa yang kami butuhkan itu?” Beliau berkata, “Lakukanlah haji sebagai persiapan untuk masalah-masalah yang sangat besar. Berpuasalah pada suatu hari yang sangat panas sebagai bekal untuk hari di mana semua manusia dikumpulkan. Lakukanlah shalat dua raka’at di malam yang gelap sebagai persiapan bagi ketakutan di dalam kubur, sebuah kalimat yang baik engkau katakan atau diam untuk tidak mengungkapkan kata-kata yang jelek sebagai bekal bagi hari yang sangat agung, bershadaqahlah dengan hartamu agar engkau selamat pada hari yang penuh dengan kesulitan, jadikanlah dunia menjadi dua majelis: satu majelis untuk mencari yang halal (rizki) dan satu majelis untuk mencari kebahagiaan di akhirat, sedangkan yang ketiganya akan mencelakakanmu dan tidak bermanfaat bagimu. Bagilah harta itu menjadi dua dirham, satu dirham dinafkahkan untuk keluarga dan satu dirham lainnya engkau persembahkan untuk akhirat.”
Saudaraku semuslim…
Lihatlah orang yang mendapatkan dunia dan perhiasannya,
apakah dia pergi dengan membawa selain amal dan kafan.
Al-Hasan al-Bashri, kehidupannya sangat berbeda dengan kehidupan kita, beliau rahimahullah berkata, “Aku mendapati suatu kaum (para Sahabat Nabi) dan bersanding dengan beberapa orang dari mereka, mereka sama sekali tidak merasa senang dengan dunia yang didapatkan dan sama sekali tidak mengejar dunia yang lari dari mereka. Dunia di mata mereka lebih hina daripada tanah, bahkan salah satu di antara mereka hidup selama lima puluh tahun atau enam puluh tahun. Akan tetapi ia tidak pernah memiliki pakaian yang cukup dan tidak pernah memiliki tungku yang baik, ia sama sekali tidak membuat penghalang antara tanah dengan dirinya dan tidak pernah memerintahkan orang yang ada di rumahnya untuk membuat sebuah makanan baginya. Tetapi ketika malam tiba, mereka menancapkan kedua kaki dengan berdiri dan menghamparkan wajah-wajah mereka untuk bersujud, air mata berlinang, mengalir di garis wajah mereka dengan bermunajat kepada Rabb dalam kebebasan mereka. Jika mereka melakukan suatu kebaikan, maka mereka selalu mensyukurinya dan memohon kepada Allah agar amal itu diterima. Dan jika mereka melakukan kejelekan, maka perasaan sedih selalu menghantui dan mereka pun terus memohon kepada Allah agar diampuni. Demi Allah, mereka sama sekali tidak akan selamat dari dosa kecuali dengan ampunan Allah sebagai kasih-sayang dan karunia bagi mereka.”[4]
Saudaraku tercinta, di manakah kita di antara mereka?!
Engkau menyambungkan dosa dengan dosa dan berharap mendapatkan,
Surga dan kebahagiaan ahli ibadah dengannya.
Dan engkau lupa sesungguhnya Allah mengeluarkan Adam,
darinya menuju dunia hanya karena satu kesalahan (dosa).
Kita -wahai saudaraku- mencari kenikmatan dan kebahagiaan dengan menjauhi segala kekeruhan.
Inilah keadaan kita, adapun keadaan Abud Darda’ sebagaimana yang digambarkan oleh beliau dalam ungkapannya, “Aku mencintai kefakiran karena kerendahan hatiku kepada Allah, aku mencintai kematian karena kerinduanku kepada-Nya, dan aku mencintai kondisiku dalam keadaan sakit sebagai penghapus atas dosa-dosaku.”[5]
Manusia memiliki ketamakan terhadap dunia dengan rencananya,
sedangkan kejernihannya telah tercampur dengan kekeruhan.
Setelah dunia itu dibagikan, sebenarnya mereka sama sekali tidak dikaruniai rizki karena akal mereka, akan tetapi mereka dikaruniai dengan takdir Allah.
Berapa banyak orang yang beradab lagi cerdas tetapi dunia tidak memihak kepadanya
dan berapa banyak orang bodoh yang mendapatkan dunia hanya dengan kelalaian.
Seandainya dunia itu didapatkan dengan kekuatan atau dengan menggulingkan,
niscaya helang akan terbang dengan membawa makanan burung pipit. [6]
Dunia walaupun dia adalah sesuatu yang sangat hina, hanya saja dia adalah sebuah lorong perjalanan menuju akhirat dan sebuah jembatan menuju dua tempat, Surga atau Neraka. Marilah kita melihat satu lorong yang mengantarkan seseorang menuju Surga, yaitu amal (shalih) di dunia.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Seseorang dari kalangan sebelum kalian dihisab akan tetapi tidak didapat darinya satu kebaikan pun hanya saja dia adalah orang yang selalu bergaul dengan selainnya yang ada dalam keadaan sulit, dia memerintahkan anak mudanya untuk membayarkan hutang orang yang sulit tadi. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, ‘Aku sebenarnya lebih berhak untuk melakukannya, maka ampunilah ia.’” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dengan lafazh milik Muslim]
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Amal yang paling sulit adalah tiga macam: berderma dalam keadaan sulit, wara’ dalam keadaan menyendiri dan sebuah ungkapan yang hak di hadapan orang yang diharapkan dan orang yang ditakuti.”[7]
Al-Hasan rahimahullah berkata, “Esok hari setiap orang sesuai dengan apa yang menjadi beban fikirannya dan setiap orang yang memikirkan sesuatu, maka dia akan banyak mengingatnya. Sesungguhnya tidak ada dunia bagi orang yang tidak memikirkan akhirat. Dan siapa saja yang lebih mementingkan dunia daripada akhirat, maka dia tidak akan mendapatkan dunia dan akhirat.”[8]
[Disalin dari kitab Ad-Dun-yaa Zhillun Zaa-il, Penulis ‘Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim, Edisi Indonesia Menyikapi Kehidupan Dunia Negeri Ujian Penuh Cobaan, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Irsyaadil ‘Ibaad, hal. 120.
[2]. Tanbiihul Ghaafiliin (I/213).
[3]. Shifatush Shafwah (III/90) dan as-Siyar (V/61).
[4]. Al-Ihyaa’ (IV/239).
[5]. Az-Zuhd, hal. 217.
[6]. Taariikhul Khulafaa’, hal. 171.
[7]. Shifatush Shafwah (II/251).
[8]. Hilyatul Auliyaa’, hal. 144
Tiada ulasan:
Catat Ulasan